
Perkembangan teknologi telah mengubah wajah perekonomian dunia. Kita kini hidup di era di mana hampir seluruh aktivitas manusia bersinggungan dengan dunia digital. Indonesia pun berada di tengah arus besar ini. Tema Gema Jurnalistik 2025, yang menyoroti kebebasan pers dan kemandirian ekonomi di era digital, terasa sangat tepat untuk
menggambarkan tantangan bangsa saat ini. Di satu sisi, teknologi membuka peluang luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, ia menghadirkan kesenjangan baru yang perlu disikapi dengan bijak.
Fakta menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia terus berkembang pesat. Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company tahun 2023 mencatat nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai sekitar 82 miliar dolar AS dan diperkirakan meningkat hingga 146 miliar dolar AS pada 2025. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya penggunaan platform perdagangan daring, dompet digital, serta layanan keuangan berbasis aplikasi. Namun, di balik angka besar itu, muncul pertanyaan: apakah manfaatnya sudah dirasakan merata?
Realitas di lapangan menunjukkan masih adanya ketimpangan. Akses internet di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya memang hampir menyeluruh, tetapi di wilayah pedesaan masih jauh tertinggal. Data Badan Pusat Statistik tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 17 persen rumah tangga di Indonesia belum memiliki akses internet yang memadai. Kesenjangan ini menciptakan jurang baru antara masyarakat yang “terhubung” dan yang belum tersentuh teknologi. Dalam pandangan saya, digitalisasi seharusnya tidak menjadi garis pemisah, tetapi jembatan yang mempertemukan peluang bagi semua.
Dampak kesenjangan digital paling terasa pada pelaku usaha kecil dan menengah. Laporan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya sekitar 30 persen UMKM yang memanfaatkan platform digital untuk menjual produk mereka. Padahal, sektor UMKM menyumbang lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja di Indonesia. Rendahnya literasi digital dan terbatasnya infrastruktur menjadi hambatan utama.
Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka ekonomi digital justru berisiko memperlebar ketimpangan sosial, bukan memperkecilnya. Pemerintah sebenarnya telah berupaya menjawab tantangan tersebut melalui berbagai program, seperti Gerakan Nasional Literasi Digital dan pelatihan digital bagi UMKM. Namun, upaya itu perlu diikuti dengan pemerataan infrastruktur dan kebijakan yang berpihak pada daerah tertinggal. Tanpa pemerataan, transformasi digital hanya akan menguntungkan kelompok yang sudah memiliki sumber daya dan akses informasi. Ekonomi berdaya tidak bisa hanya diukur dari angka pertumbuhan, tetapi juga dari sejauh mana ia membuka kesempatan bagi masyarakat kecil untuk maju.
Selain pemerataan ekonomi, keberlanjutan juga menjadi aspek penting. Kementerian PPN/Bappenas (2024) mencatat bahwa Indonesia telah mencapai sekitar 62 persen target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan kini tengah memperkuat sektor ekonomi hijau dan digital sebagai dua pilar utama menuju 2030. Artinya, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berorientasi pada efisiensi dan keuntungan, tetapi juga harus menjaga
keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Ekonomi digital yang kuat tetapi tidak adil, ibarat gedung tinggi yang berdiri di atas pondasi rapuh—cepat tumbuh, namun mudah runtuh.
Dalam ekosistem ini, peran pers menjadi sangat penting. Pers yang merdeka dan bertanggung jawab dapat berfungsi sebagai pengawas kebijakan dan penyampai aspirasi masyarakat. Di tengah pesatnya inovasi teknologi, media harus memastikan bahwa transformasi digital tidak meninggalkan siapa pun di belakang. Pers juga berperan sebagai pendidik publik, membangun literasi digital, serta menyebarkan informasi yang benar di tengah maraknya disinformasi dan manipulasi data. Tanpa pers yang bebas, wacana publik akan dikuasai oleh narasi tunggal yang bisa saja menyesatkan. Namun, kebebasan pers tidak akan bermakna tanpa kemandirian ekonomi media. Ketika media bergantung pada kepentingan politik atau bisnis tertentu, kebebasannya mudah goyah. Karena itu, ekosistem ekonomi digital juga harus memberi ruang bagi keberlanjutan media independen. Media yang kuat secara ekonomi akan mampu menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan objektif dan profesional.
Ke depan, kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan pers menjadi kunci untuk menjawab tantangan SDGs di era digital 5.0. Pemerintah harus memastikan kebijakan yang adil dan infrastruktur digital yang merata. Pelaku usaha harus menciptakan inovasi yang inklusif. Masyarakat perlu meningkatkan literasi digital, dan pers harus menjaga transparansi serta memperjuangkan keadilan informasi. Dengan sinergi seperti itu, ekonomi
digital dapat menjadi sarana pemberdayaan, bukan sumber ketimpangan. Pada akhirnya, kemajuan teknologi hanya akan berarti jika membawa manfaat bagi manusia. Ekonomi digital yang adil dan pers yang merdeka adalah dua sisi dari kemandirian bangsa. Ketika masyarakat mampu memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan nilai kemanusiaannya, saat itulah kita benar-benar berdaya di era digital 5.0.
REFERENSI
- Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Telekomunikasi Indonesia 2023. Jakarta: Badan Pusat
Statistik. - Bappenas. (2024). Capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia Tahun 2024. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
- Google, Temasek, & Bain & Company. (2023). e-Conomy SEA 2023: Reaching New Heights.
- Institute for Development of Economics and Finance. (2024). Sektor Ekonomi Digital Indonesia 2024.
- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2023). Transformasi Digital untuk Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan.
Penulis: Najwa Ardelia